Jumat, 03 Juni 2011

Pos Islamisme

Beberapa pakar dan pengamat Islam belakangan ini telah mempromosikan istilah posislamisme. Istilah ini digunakan untuk mengidentifikasi sebuah fenomena baru di kalangan Islamis yang sering diidentifikasi sebagai kelompok-kelompok garis keras Islam. Kecenderungan baru ini tidak hanya terjadi dalam satu atau dua kelompok garis keras Islam di suatu negara, tetapi juga terjadi di hampir semua kalangan garis keras Islam di berbagai negara, meski dengan tingkat dan frekuensi yang berbeda-beda.
Karakter minimal yang dilekatkan pada posislamisme ini adalah munculnya kecenderungan global di kalangan garis keras untuk berpartisipasi dalam sistem politik nasional yang dulunya dianggap sebagai sistem politik yang sama sekali tidak Islami. Partisipasi ini dapat saja berupa peningkatan signifikan penggunaan hak suara dalam pemilu. Namun, sebagai gerakan dan kelompok, mereka yang dulunya bergerak sebagai oposisi tidak resmi atau hanya bergerak di belakang layar, dewasa ini berpartisipasi langsung lewat aliansi dengan partai politik resmi atau langsung membentuk partai politik resmi.


Cenderung membingungkan
Posislamisme sebenarnya pertama kali digunakan dalam melihat perkembangan kontemporer Islam di Iran dengan segala konteks budaya dan sosial-politiknya. Secara umum, fenomena ini merupakan metamorfosis terbaru dari segala ide, pendekatan dan praktik Islamisme di Iran. Istilah ini kemudian digunakan beberapa pengamat dan akademisi Barat dalam meneliti perkembangan terakhir gerakan militan di dunia Islam lainnya. Sebagai istilah yang relatif baru, karenanya, makna posislamisme cukup bervariasi, bahkan cenderung membingungkan.
Menurut Gilles Kepel misalnya, istilah ini menandai perubahan di kalangan Islamis dengan meninggalkan doktrin-doktrin jihad dan salaf. Sementera itu, Oliver Roy (Le Post-Islamisme, 1999) memaknainya sebagai bentuk privatization of Islamization dengan menekankan bagaimana dan di mana Islamisasi diterapkan. Lain halnya dengan James Piscatori (Islam and the Electoral Process, 1999). Ia melihat keinginan kelompok-kelompok militan atau negara-negara yang dicap Islamis, melaksanakan atau berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai bentuk keberhasilan implementasi liberalisme dan civil society, sehingga pada gilirannya mereka sedang bergerak ke arah posislamisme atau posfundamentalisme.
Tidak ingin terjebak dalam polemik terminologis, Asef Bayat (The Coming of Post-Islamist Society, 1996) tidak melihat posislamisme sebagai kategori yang analitik, yang mewakili masa tertentu dan akan berakhir pada masa tertentu pula, tetapi sangat empirik. Bayat menegaskan bahwa posislamisme menunjukkan sebuah perubahan dari ideologi Islamis yang universal, eksklusif, dan didominasi oleh kebenaran agama, ke arah pandangan yang menghargai ambiguitas, keterbukaan, pluralitas, serta kompromi.
Kategori posislamisme ini menarik karena ia --menurut Bayat-- bukan anti-Islam, bukan pula tidak Islami, tetapi sekaligus bukan sekuler. Ini menjadi menarik karena kategori yang selama ini disepakati menjadi kabur dengan munculnya kategori postislamisme. Selama ini misalnya, kalau anti-Islam, ia pasti tidak Islami atau sekuler. Tetapi, sekali lagi, posislamisme ini tidak anti-Islam, bukan tidak Islami, dan sekaligus tidak sekuler. Karena pengaburan kategori inilah, istilah posislamisme cukup kontroversial. Banyak yang menilai bahwa istilah ini belum matang, karena generalisasi yang terburu-buru.
Akan tetapi, benang merah yang dapat dipertemukan dari semua perbedaan ini adalah terdapat kesepakatan umum sementara bahwa kelompok-kelompok militan Islam sedang mengalami metamorfosis signifikan, khususnya dalam melaksanakan strateginya. Negara Islam, misalnya, tidak lagi menjadi ikon utama bagi kelompok-kelompok garis keras. Pemilihan umum menjadi hal yang mutlak dalam sebuah sistem politik.
Bayat mencatat bahwa sejak berakhirnya Perang Iran-Irak (1988) dan setelah wafatnya Khomeini (1989), serta rekonstruksi pascaperang di bawah pengawasan Rafsanjani, telah terjadi transformasi sosial dan intelektual yang luar biasa. Kampanye demokrasi, isu gender, hak-hak individu, toleransi, bahkan pemisahan agama dan politik menjadi wacana utama di Iran. Bayat bahkan mengamati bahwa terjadi fenomena religiusitas inklusif di kalangan ulama dan intelektual Iran dengan mempromosikan sekularisasi negara tanpa meninggalkan etika agama.


Tepat untuk PKS
Menurut penulis, kerangka posislamisme inilah yang paling tepat digunakan dalam mengamati perkembangan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia. PKS mampu mengawali dan mewakili posislamisme di Indonesia. PKS dianggap sebagai satu-satunya partai Islamis yang berdiri secara resmi dan berpartisipasi penuh dalam sistem politik nasional.
Pada pemilu 1999, meski tidak memenuhi standar electoral threshold, PKS (ketika itu masih bernama Partai Keadilan/PK) berhasil meraih 1,36 persen suara dan menempatkan tujuh wakilnya di DPR. Hasil ini menempatkan PKS sebagai partai terbesar ketujuh di Indonesia di bawah PDI-P, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PBB. Sebuah prestasi luar biasa bagi sebuah partai baru yang tidak memiliki sejarah besar di masa lalu. Prestasi ini juga luar biasa mengingat PKS mampu mengungguli partai-partai lain yang punya sejarah besar di masa lalu seperti PSII, Murba, IPKI, PPII Masyumi, juga Masyumi Baru. PKS juga mengalahkan partai-partai baru yang dipimpin oleh tokoh yang sangat marketable seperti PUDI pimpinan Sri Bintang Pamungkas, PUI pimpinan Deliar Noer dan Harun Al Rasyid, PDR pimpinan Adi Sasono, dan PRD pimpinan Budiman Sudjatmiko.
Prestasi PKS semakin unggul pada pemilu berikutnya di 2004 di mana PKS berhasil secara signifikan naik menjadi partai terbesar keenam secara nasional. Partai ini berhasil meraih 50 kursi di DPR, dan akhirnya memisahkan diri dari Fraksi Reformasi dan membentuk sendiri Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS). Dalam pemilu 2004, PKS juga berhasil menjadi partai nomor satu di Jakarta dan nyaris di semua pemilu luar negeri.
Fenomena posislamisme PKS ini memang sangat mengundang perhatian pengamat, meski dengan kekhawatiran dalam tingkat tertentu. PKS yang pertama kali berdiri dipimpin oleh Nurmahmudi Ismail masih menyimpan kekhawatiran, mengingat identifikasi yang ketat dengan kelompok Islamis. Jaringan internasionalnya yang kuat dengan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, semakin menambah kekhawatiran identifikasi itu. Mungkin karena itu, seorang anggota MPR menuntut janji Hidayat Nur Wahid, Presiden PKS yang terpilih menjadi Ketua MPR pada 2004, untuk tidak mengungkit lagi masalah Piagam Jakarta.
Sayangnya, trend posislamisme yang menjadi fenomena di kalangan gerakan Islamisme di seluruh dunia ini, nyaris tidak terjadi pada organisasi dan gerakan Islam kanan lainnya di Indonesia dewasa ini, kecuali PKS. Meski sudah ada komitmen untuk tidak menggunakan cara-cara kekerasan dalam mencapai tujuan, agenda-agenda Islamis masih menjadi target utama gerakan mereka. Mereka masih absen dalam pentas sistem politik nasional karena menganggapnya sebagai sistem non-Islami.


Ikhtisar
- Posislamisme merupakan terminologi yang mewakili gerakan kelompok Islam yang selama ini disebut garis keras untuk masuk dalam politik kenegaraan.
- Hingga kini, karakteristik posislamisme masih mengalami pengaburan, juga masih menjadi kontroversi.
- PKS salah satu model yang dinilai tepat untuk menggambarkan posislamisme di Indonesia.


Sumber : Republika, OPINI

0 komentar:

Posting Komentar